Selasa, 27 Januari 2009

Upaya Menuju Ma'rifatullah

Berbagai cara dapat digunakan manusia dalam rangka menuju ma’rifatullah, yaitu:
1. Melihat tanda-tanda kekuasaan Allah (ayat kauniyah)
Perhatikan sesuatu di sekeliling kita sampai yang paling kecil sekalipun, lalu dalam diri kita, maka akan kita dapati bahwa semua itu adalah ayat-ayat Allah yang bersatu dalam harmoni yang begitu indah yang dapat diambil hikmahnya, sesuai dengan yang difirmankan Allah: (QS. Ali imran: 190-191).
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Pengenalan diri merupakan aktifitas spiritual yang mencerdaskan hati dan mempertajam jiwa. Hati yang cerdas akan cepat menerima pancaran cahaya Ilahi, sehingga pemiliknya akan mendapatkan keimanan. Allah memenuhi relung jiwanya

2. Merenungi dan mentadaburi ayat-ayat Qauliyah (Qur’aniyah)
Allah menyeru kita untuk merenungi dan mentadabburi ayat-ayat Al-Qur’an, seperti dalam firmannya, (QS. An Nissa’: 82)Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
Banyak penelitian ilmiah yang telah membuktikan kebenaran Al-Qur’an dan diakui oleh para pemikir barat yang jujur, salah satunya adalah penyebutan Al-Qur’an tentang bagaimana fase-fase pertumbuhan janin. Di dalamnya dijelaskan secara detail yang hanya dikenal oleh sains dan kedokteran modern serta dibuktikan oleh dokter-dokter dan ilmuan-ilmuan yang mengambil spesialisasi kandungan, jadi, tanda-tanda kekuasaan Allah merupakan bukti paling jelas atas sifat-sifat-Nya dan atas kebenaran berita yang dibawa oleh para rosul tentang-Nya. Dengan kata lain, alam semesta sebagai ciptaan-Nya ini membenarkan ayat-ayat Al-Qur’an yang sebagian isinya menyuruh kita berdialog dengan ayat-ayat kauniyah, Allah SWT berfirman: (QS. Fushshilat: 53)Artinya: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?

3. Memahami dan mencontoh Asmaaul Husna
Yang dimaksud ma’rifah melalui Asmaaul Husna adalah bersikap sesuai dengan apa yang diajarkan di dalam nash wahyu tentang sifat-sifat Allah dan asma-asma-Nya. Selanjutnya, baik sifat-sifat maupun asma-asma tersebut ditetapkan sebagaimana apa adanya, sehingga ma’rifatullah kepada Allah tidak akan rusak oleh penakwilan, pengurangan dan penyelewengan.
Jika seorang hamba memahami Allah tentang pemberian-Nya, maka Ia akan mengerti asma-Nya (nama Allah), yaitu al-Mu’thi (yang maha pemberi). Bagi orang yang berjalan menuju Allah, segala sesuatu itu dapat menjadi khazanah pemberian bagi-Nya. Segenap partikel, dan segenap apapun akan memperkaya ilmu dan pemahamannya terhadap Allah.
Sebagian dari asma Allah adalah az-Zhaahir (Yang Maha Tampak) dan Al-Baathin (yang maha tersembunyi), maka jika seorang hamba melihat dunia ini dengan mata hatinya, ia akan menyaksikan bekas Allah, yang karena-Nya ia dapat melihat asma-asma Allah. Jika ia lalai, niscaya ia tidak akan dapat melihat dunia dengan mata hatinya, tetapi dengan nafsu dan syahwatnya, lalu dunia pun akan memfitnahnya. Atau dengan kata lain, jika ia melihat alam lalu ia terpedaya, itu pertanda ia masih melihatnya dengan mata nafsu. Namun jika ia melihat alam, lalu dipetiknya pelajaran, berarti ia memandangnya dengan mata hati. Dari paparan ini, ada semacam tuntutan dan bahan renungan yag berharga bagi kita. “Singkatnya perjalanan yang hakiki adalah jika perjalanan dunia ini tersembunyi darimu, hingga engkau melihat akhirat itu lebih dekat kepadamu ketimbang dirimu sendiri”.
Maksudnya, hendaklah dalam perjalanan kehidupan ini yang menjadi pusat perhatian utama adalah perihal akhirat, bahwa akhirat begitu dekat. Inilah perjalanan hakiki dan sejati yang dituntut dari kita, dan perjalanan inilah yang dimiliki oleh para sahabat Nabi Saw; mereka hidup dalam situasi yang penuh dengan nuansa akhirat.
Visi orang-orang yang ahli tentang perjalanan menuju Allah berbeda dengan pandangan orang-orang awam. Seorang ‘arif (yang tahu kebenaran) memperhatikan apa yang terjadi sekarang, di masa yang lalu, dan kurun yang akan datang. Ia selalu disibukkan dan dirisaukan oleh waktu-waktunya, bagaimana agar ia bisa lulus dalam melewati waktu-waktu tersebut. Sedang yang dipandang orang awam adalah perikehidupan seseorang (pelaku maksiat) yang berpuluh-pulu tahun sudah berlalu, padahal orang tersebut kadang sudah bertobat secara langsung, dan kini ia telah menjadi salah satu wali Allah. Sungguhpun begitu, orang awam tersebut tetap saja tak melupakan masa lalunya. Adapun seorang ‘arif memandang dengan mata hikmah, mata hakikat, dan mata cinta dan kasih sayag terhadap makhluk, dan semua ini adalah buah dari ma’rifah-nya dan mahabbah-nya terhadap Allah.

Karakteristik Jalan Menuju Ma'rifatullah

Ketika seseorang meniti jalan menuju ma’rifatullah, kadang Allah menempatkannya pada suatu keadaan, agar ia memahami Allah, lalu pemahaman itu akan memberikan ma’rifah kepadanya. Perihal inilah yang menjadi pusat perhatian Syaikh Ibnu ‘Atha’illah sebagaimana tersimpul dalam ujarannya: “Adakalanya Allah memberimu (taufiq dan pemahaman). Kadang kala Allah tidak memberimu (kesenangan dunia), tapi ia memberimu (taufiq dan pemahaman). Jika Allah menyibakkan kepadamu pintu untuk memahami penahanan pemberian, maka penahanan pemberian itu akan berubah menjadi pemberian itu sendiri.”
Pemberian atau penahanan pemberian, keduanya berpengaruh di hati seseorang. Ironisnya, banyak orang keliru memahami Allah dalam hal ini, karena menurut pemikiran mereka pemberian adalah tanda karamah, dan penangguhan pemberian adalah tanda penghinaan. Seperti terdapat pada surat (QS. Al Fajr: 15-16).
Artinya: Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka dia akan berkata: "Tuhanku Telah memuliakanku". Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku"
Maksudnya: ialah Allah menyalahkan orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan adalah suatu kehinaan seperti yang tersebut pada ayat 15 dan 16. tetapi Sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Tuhan bagi hamba-hamba-Nya.
Pengertian pada surat ini begitu dalam, karena itu Al-Qur’an meluruskannya. Kadang Allah menangguhkan pemberian dunia kepada mahluk yang paling dicintai-Nya, tapi ia curahkan segala macam kesenangan dunia kepada mahluk yang paling dimurkai-Nya. Karena itu, pemberian duniawi dari Rabb bukan tanda karamah dan penahanan pemberian adalah bukti penghinaan. “Bila Allah memberikan karunia-Nya, maka ia memperlihatkan kebaikan-Nya. Manakala ia menahan pemberian-Nya, maka Ia menunjukkan kekuasaan-Nya. Dalam semua keadaan tersebut Ia memperkenalkan diri-Nya dan menghadapi hamba-Nya dengan kelembutan-Nya.” Hikmah penangguhan dan kelekasan pemberian berrtautan dengan masalah pengenalan terhadap Allah. Jika seseorang dapat mengenal Allah melalui celah penahanan dan penyegeraan pemberian, maka dia sungguh telah menapaki jenjang kesempurnaan, karena pemberian adalah salah satu tanda kebaikan-Nya, dan penahanan pemberian adalah cermin dari kekuasaan-Nya. (QS. Al an’aam: 18)
Artinya: Dan dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. dan dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
Bila penahanan pemberian itu menyakiti seorang hamba, maka itu hanya karena ketiadaan pemahamannya tentang Allah di dalamnya.

Mengapa Kita Membutuhkan Ma'rifatullah???

Jika setiap diri kita mau jujur untuk mengakui, mungkin banyak di antara kita akan merasakan bahwa ibadah ritual yang kita lakukan seringkali tidak terasa nikmat. Kekayaan materi yang berlimpah tak jua mendatangkan kebahagiaan, prestasi belajar yang gemilang juga tak membuat ketenangan dan kepuasan batin. Apalagi ketika menghadapi kesulitan hidup baik berupa ujian, cobaan maupun musibah. Semua keadaan yang diberikan Allah sangat sulit untuk dinikmati, keluh kesah selalu menjadi cara menyikapi berbagai kondisi, serasa tak menemukan jalan untuk menikmati kehidupan dengan tenang. Permasalahan yang datang pun silih berganti, namun tak jua menemukan muara solusi. Hidup di tengah keramaian namun terasa sepi. Keraguan dan pesimis senantiasa menyertai, sehingga hakikat hidup pun tak pernah termaknai, tidak tahu dari mana dan akan kemana, serta apa yang harus dilakukan dalam kehidupan ini?
Kecerdasan seorang hamba dalam menyikapi kehidupan bergantung kepada kekuatan dan kesempurnaan yang dimilikinya dalam hal ilmu dan mahabbah. Dengan ilmu sebagai cahaya kehidupan dapat mengantarkan seseorang untuk mengetahui arah dan tujuan hidupnya. Adapun sebaik-baik ilmu adalah ilmu tentang mengenal Allah, karena ilmu inilah semua pertanyaan dalam kehidupan ini dapat dijawab dan setiap kondisi yang diberi dapat termaknai. Ketika ia beribadah atau melaksanakan sesuatu ia menyadari makna dari semua yang ia lakukan, dan merasakan hadirnya kasih sayang dan cinta-Nya dengan diberikan-Nya kenikmatan dalam beramal dan beribadah yang dirasakannya tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban sebagi hamba, tapi justru dirasakan menjadi suatu kebutuhan untuk terus berinteraksi dengan-Nya baik dalam shalat, puasa, sedekah, dan ibadah lainnya. Karena dengan cara inilah ketenangan akan ia peroleh. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Ra’ad ayat 28.
Artinya: (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Adapun semua yang ia dapatkan atau ia alami, baik kesulitan maupun kemudahan dunia dapat ia sikapi dengan ridha dan syukur, karena ia yakin apapun yang diberikan Allah adalah selalu pilihan yang terbaik untuk dirinya, karena Allah tidak akan mendzalimi dan akan selalu menolong hamba-hamba-Nya. Sehingga ketenangan, kebahagiaan, dan ketentraman yang akan selalu setia menemaninya dalam menikmati hari demi hari, hingga saat ia kembali ke dalam pelukan Ilahi. Adapun Mahabbah yang paling tinggi adalah Mahabatullah (mencintai Allah), yang dengannya ia tidak pernah kehabisan energi dan semangat yang gigih untuk terus berbuat, dan terus mengejar hingga ia mencapai apa yang ia capai yaitu Ridha Ilahi.

Jumat, 23 Januari 2009

Pengertian & Makna Ma'rifatullah

Ma’rifatullah terdiri dari kata ma’rifah dan Allah. Arti Marifat secara umum adalah yang dilakukan orang alim yang sesuai dengan maksud dan tujuan ilmu sendiri. Ma‘rifat menurut ahli fiqhi adalah ilmu . Setiap ilmu itu ma’rifat, ma‘rifat itu ilmu, setiap orang alim arif dan setiap ‘arif itu alim. Ma‘rifat menurut ahli shufi ialah rasa kesadaran kepada Allah akan sifat dan asmanya
Ma’rifatullah (mengenal Allah) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas? Menurut Ibnu Al Qayyim, ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”. Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.
Seseorang dianggap ma’rifatullah (mengenal Allah) jika ia telah mengenali asma’ (nama) Allah sifat Allah dan af’al (perbuatan) Allah, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam ini. Kemudian dengan bekal pengetahuan itu, ia menunjukkan: sikap shidq (benar) dalam ber -mu’amalah (bekerja) dengan Allah, ikhlas dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah, pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah SWT, sabar/ menerima pemberlakuan hukum/aturan Allah atas dirinya, berda’wah/ mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya, membersihkan da’wahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan subyektifitas siapapun. Ia hanya menyerukan ajaran agama seperti yang pernah diajarkan Rasulullah SAW.
Figur teladan dalam ma’rifatullah ini adalah Rasulullah SAW. Dialah orang yang paling utama dalam mengenali Allah SWT. Sabda Nabi : “Sayalah orang yang paling mengenal Allah dan yang paling takut kepada-Nya”. (HR Al Bukahriy dan Muslim). Tingkatan berikutnya, setelah Nabi adalah ulama amilun (ulama yang mengamalkan ilmunya).
Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah. Orang yang mengenali Allah dengan benar adalah orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ibadah. Kita akan mendapatinya sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita dapati ia senantiasa berdzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarakat, dermawan, dst. Tidak ada ruang dan waktu ibadah kepada Allah, kecuali dia ada di sana. Dan tidak ada ruang dan waktu larangan Allah kecuali ia menjauhinya.
Ada sebagian ulama yang mengatakan: “Duduk di sisi orang yang mengenali Allah akan mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari enam hal, yaitu : dari ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlash, dari ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari cinta dunia menjadi cinta akhirat, dari sombong menjadi tawadhu’ (rendah hati), dari buruk hati menjadi nasehat”

Ma'rifah adalah awal dari segalanya

Sebuah ungkapan yang sering kita dengar dan tak asing di telinga kita, yakni “Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta”. Begitulah ungkapan tentang bagaimana cinta bisa tumbuh dan bersemi dalam jiwa yang selalu merindukan tambatan hati untuk mencurahkan rasa cinta dan rindu yang Allah anugerahkan bagi tiap insan di muka bumi ini. Kandungan maknanya sangat menarik untuk dipahami dengan kejernihan pikiran. Secara tak langsung, ungkapan tersebut menegaskan pentingnya pengenalan sebagai starting process bagi tumbuhnya rasa cinta dan berseminya rasa rindu.
Ma’rifah (mengenal) merupakan awal berseminya rasa cinta. Tiada cinta tanpa ma’rifah. Cinta adalah salah satu jalan menuju suatu perubahan. Tidak sedikit sikap dan perilaku seseorang berubah menjadi baik oleh karena cinta. Begitupun sebaliknya, tidak sedikit pula sikap dan perilaku seseorang berubah menjadi buruk karena masalah yang satu ini, yaitu cinta. Semua anak manusia diakui atau tidak, siapapun dia dapat dipastikan membutuhkan cinta. Pertanyaannya, kepada siapa dan bagaimana model cinta yang bisa membawa kita menuju kepada suatu perubahan yang baik dan memperoleh kebahagiaan yang hakiki, dunia dan akhirat. Jawaban bagi seorang mukmin tiada lain adalah “Cinta Ilahi” yang mesti diraihnya walaupun dengan tertatih-tatih. Karena Dialah yang menjadi tambatan hati, penyejuk jiwa, tumpuan harapan, dan yang selalu dirasakan kehadiran-Nya di segala keadaan. Di kala kita bahagia hadir, di kala menderita mencoba menyapa, hanya Dialah yang selalu teringat untuk menjadi curahan segala rasa yang terpendam dalam jiwa. Rasa cinta dan rindu yang menggelora untuk selalu ingin berjumpa dengan-Nya Allah Sunhaanahu wa Ta’ala, kekasih sejati bagi para pencari cinta hakiki.